HIV/AIDS tanpa Komplikasi
No. ICPC II : B90 HIV-infection/AIDS
No. ICD X : Z21 Asymptomatic human immunodeficiency virus (HIV) infection
status
Tingkat Kemampuan: 4A
Masalah Kesehatan
HIV adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sel-sel
kekebalan tubuh.
AIDS atau Acquired Immunodefficiency Syndrome adalah kumpulan gejala
akibat penurunan kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan :
Pasien datang dapat dengan keluhan yang berbeda-beda antara lain demam
atau diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan.
Keluhan disertai kehilangan berat badan (BB) >10% dari BB dasar. Keluhan
lain bergantung dari penyakit yang menyertainya, seperti:
a. Kulit: kulit kering yang luas, terdapat kutil di genital.
b. Infeksi:
1. Jamur, seperti kandidiasis oral, dermatitis seboroik atau kandidiasis
vagina berulang.
2. Virus, seperti herpes zoster berulang atau lebih dari satu dermatom,
herpes genital berulang, moluskum kontagiosum, kondiloma.
3. Gangguan napas, seperti tuberculosis, batuk >1 bulan, sesak napas,
pneumonia berulang, sinusitis kronis
4. Gejala neurologis, seperti nyeri kepala yang semakin parah dan tidak
jelas penyebabnya, kejang demam, menurunnya fungsi kognitif.
Faktor Risiko
a. Hubungan seksual yang berisiko/tidak aman
b. Pengguna napza suntik
c. Transfusi
d. Pembuatan tato dan atau alat medis/alat tajam yang tercemar HIV
e. Bayi dari ibu dengan HIV/AIDS
f. Pasangan serodiskordan – salah satu pasangan positif HIV
Keadaan tersebut diatas merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV (WHO
Searo 2007)
Penularan HIV melalui:
a. Transmisi seksual
b. Produk Darah
c. Dari Ibu ke Janin
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi tanda-tanda vital, BB, tanda-tanda yang mengarah
kepada infeksi oportunistik sesuai dengan stadium klinis HIV seperti yang
terdapat pada tabel di bawah ini.
Tabel 9. Stadium klinis HIV
Stadium 1
• Tidak ada gejala
• Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2
• Penurunan berat badan bersifat sedang yang tidak diketahui
penyebabnya (<10% dari perkiraan berat badan atau berat badan
sebelumnya)
• Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsilitis, otitis
media, faringitis)
• Herpes zoster
• Keilitis Angularis
• Ulkus mulut yang berulang
• Ruam kulit berupa papel yang gatal (Papular pruritic eruption)
• Dermatitis seboroik
• Infeksi jamur pada kuku
Stadium 3
• Penurunan berat badan yang tak diketahui penyebabnya (lebih dari
10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)
• Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1
bulan
• Demam menetap yang tak diketahui penyebab
• Kandidiasis pada mulut yang menetap
• Oral hairy leukoplakia
• Tuberkulosis paru
• Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema,
meningitis, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, bakteraemia,
penyakit inflamasi panggul yang berat)
• Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis
• Anemi yang tak diketahui penyebabnya (<8g/dl), netropeni (<0.5 x
10 g/l) dan/atau trombositopenia kronis (<50 x 10 g/l)
Stadium 4
• Sindrom wasting HIV
• Pneumonia Pneumocystis
jiroveci
• Pneumonia bakteri berat
yang berulang
• Infeksi Herpes simplex kronis
(orolabial, genital, atau
anorektal selama lebih dari 1
bulan atau viseral di bagian
manapun)
• Kandidiasis esofageal (atau
kandidiasis trakea, bronkus
atau paru)
• Tuberkulosis ekstra paru
• Sarkoma Kaposi
• Penyakit cytomegalovirus
(retinitis atau infeksi organ
lain, tidak termasuk hati,
limpa dan kelenjar getah
bening)
• Toksoplasmosis di sistim
saraf pusat
• Ensefalopati HIV
• Pneumonia Kriptokokus
ekstrapulmoner, termasuk
meningitis
• Infeksi mycobacteria non
tuberkulosis yang menyebar
• Leukoencephalopathy
multifocal progresif
• Cyrptosporidiosis kronis
• Isosporiasis kronis
• Mikosis diseminata
(histoplasmosis,
coccidiomycosis)
• Septikemi yang
berulang(termasuk
Salmonella non-tifoid)
• Limfoma (serebral atau Sel B
non-Hodgkin)
• Karsinoma serviks invasif
• Leishmaniasis diseminata
atipikal
• Nefropati ataukardiomiopati
terkait HIV yang simtomatis
Pemeriksaan Penunjang
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan
nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3
(untuk penegakan Diagnosis, menggunakan 3 macam tes dengan titik tangkap
yang berbeda) dan selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi
singkat.
Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA.
Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang
tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3)
menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (>99%).
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3
bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang
dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil ”negatif”, maka perlu
dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko.
Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV
a. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary Counseling &
Testing)
b. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (TIPK – PITC =
Provider-Initiated Testing and Counseling)
TIPK merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan
kesehatan yang berarti semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes HIV
setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan
tanda klinis diduga terinfeksi HIV, pasien dari kelompok berisiko (penasun,
PSK-pekerja seks komersial, LSL – lelaki seks dengan lelaki), pasien IMS dan
seluruh pasangan seksualnya.
Kegiatan memberikan anjuran dan pemeriksaan tes HIV perlu disesuaikan
dengan prinsip bahwa pasien sudah mendapatkan informasi yang cukup dan
menyetujui untuk tes HIV dan semua pihak menjaga kerahasiaan (prinsip 3C –
counseling, consent, confidentiality)
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil tes
HIV.
Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke Pelayanan
Dukungan Pengobatan untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi
penilaian stadium klinis, penilaian imunologis dan penilaian virologi.
Hal tersebut dilakukan untuk:
a. Menentukan apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk terapi
antiretroviral.
b. Menilai status supresi imun pasien.
c. Menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi.
d. Menentukan paduan obat ARV yang sesuai.
Penilaian yang dilakukan pada pasien HIV/AIDS adalah sebagai berikut:
a. Penilaian Stadium Klinis
Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali
kunjungan untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu.
b. Penilaian Imunologi (pemeriksaan jumlah CD4)
Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA.
Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan klinis untuk menentukan
pasien yang memerlukan pengobatan profilaksis IO dan terapi ARV.
Rata-rata penurunan CD4 adalah sekitar 70-100 sel/mm3/tahun,
dengan peningkatan setelah pemberian ARV antara 50–100
sel/mm3/tahun. Jumlah limfosit total (TLC) tidak dapat menggantikan
pemeriksaan CD4.
c. Pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi
Pada dasarnya pemantauan laboratorium bukan merupakan
persyaratan mutlak untuk menginisiasi terapi ARV. Pemeriksaan CD4
dan viral load juga bukan kebutuhan mutlak dalam pemantauan pasien
yang mendapat terapi ARV, namun pemantauan laboratorium atas
indikasi gejala yang ada sangat dianjurkan untuk memantau keamanan
dan toksisitas pada ODHA yang menerima terapi ARV. Hanya apabila
sumberdaya memungkinkan maka dianjurkan melakukan pemeriksaan
viral load pada pasien tertentu untuk mengkonfirmasi adanya gagal
terapi menurut kriteria klinis dan imunologis.
Tabel 10. Pemeriksaan laboratorium yang ideal sebelum memulai ART
Pemeriksaan Laboratorium yang ideal sebelum memulai ART apabila
sumber daya memungkinkan
• Darah lengkap*
• Jumlah CD4*
• SGOT/SGPT*
• Kreatinin serum
• Urinalisa*
• HbsAg*
• Anti-HCV (untuk ODHA IDU atau
dengan riwayat IDU)
• Profil lipid serum
• Gula darah
• VDRL/TPHA/PRP
• Rontgen dada (utamanya bila
curiga ada infeksi paru)
• Tes kehamilan (perempuan usia
reproduktif dan perlu anamnesis
menstruasi terakhir)
• PAP smear/IFA-IMS untuk
menyingkirkan adanya Ca Cervix
yang pada ODHA bisa bersifat
progresif)
• Jumlah virus/Viral Load RNA
HIV** dalam plasma (bila tersedia
dan bila pasien mampu)
Catatan:
* adalah pemeriksaan yang minimal perlu dilakukan sebelum terapi ARV
karena berkaitan dengan pemilihan obat ARV. Tentu saja hal ini perlu
mengingat ketersediaan sarana dan indikasi lainnya.
** pemeriksaan jumlah virus memang bukan merupakan anjuran untuk
dilakukan sebagai pemeriksaan awal tetapi akan sangat berguna (bila pasien
punya data) utamanya untuk memantau perkembangan dan menentukan
suatu keadaan gagal terapi.
Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Layanan terkait HIV meliputi:
a. Upaya dalam menemukan pasien HIV secara dini dengan melakukan tes
dan konseling HIV pada pasien yang datang ke layanan primer.
b. Perawatan kronis bagi ODHA dan dukungan lain dengan sistem rujukan
ke berbagai fasilitas layanan lain yang dibutuhkan ODHA. Layanan
perlu dilakukan secara terintegrasi, paripurna, dan berkesinambungan.
Infeksi HIV merupakan infeksi kronis dengan berbagai macam infeksi
oportunistik yang memiliki dampak sosial terkait stigma dan
diskriminasi serta melibatkan berbagai unsur dengan pendekatan tim.
Perlu dilakukan upaya pencegahan. Strategi pencegahan HIV menurut rute
penularan, yaitu:
a. Untuk transmisi seksual:
1. Program perubahan perilaku berisiko, termasuk promosi kondom.
2. Pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah.
3. Konseling dan tes HIV.
4. Skrening IMS dan penanganannya.
5. Terapi antiretrovirus pada pasien HIV.
b. Untuk transmisi darah:
1. Pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik.
2. Keamanan penanganan darah.
3. Kontrol infeksi di RS.
4. Post exposure profilaksis.
c. Untuk transmisi ibu ke anak:
1. Menganjurkan tes HIV dan IMS pada setiap ibu hamil.
2. Terapi ARV pada semua ibu hamil yang terinfeksi HIV.
3. Persalinan seksiosesaria dianjurkan.
4. Dianjurkan tidak memberikan ASI ke bayi, namun diganti dengan
susu formula.
5. Layanan kesehatan reproduksi.
Setiap daerah diharapkan menyediakan semua komponen layanan HIV yang
terdiri dari:
a. Informed consent untuk tes HIV seperti tindakan medis lainnya.
b. Mencatat semua kegiatan layanan dalam formulir yang sudah
ditentukan.
c. Anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap oleh dokter.
d. Skrining TB dan infeksi oportunistik.
e. Konseling bagi ODHA perempuan usia subur tentang KB dan kesehatan
reproduksi termasuk rencana untuk mempunyai anak.
f. Pemberian obat kotrimoksasol sebagai pengobatan pencegahan infeksi
oportunistik.
g. Pemberian ARV untuk ODHA yang telah memenuhi syarat.
h. Pemberian ARV profilaksis pada bayi segera setelah dilahirkan oleh ibu
hamil dengan HIV.
i. Pemberian imunisasi dan pengobatan pencegahan kotrimoksasol pada
bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif.
j. Anjuran rutin tes HIV, malaria, sifilis dan IMS lainnya pada perawatan
antenatal (ANC).
k. Konseling untuk memulai terapi.
- 73 -
l. Konseling tentang gizi, pencegahan penularan, narkotika dan konseling
lainnya sesuai keperluan.
m. Menganjurkan tes HIV pada pasien TB, infeksi menular seksual (IMS),
dan kelompok risiko tinggi beserta pasangan seksualnya, sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
n. Pendampingan oleh lembaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien.
Tatalaksana Pemberian ARV
Saat Memulai Terapi ARV
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4
(bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut
adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi
antiretroviral atau belum.
Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai
terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.
b. Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi sesuai dengan hasil pemeriksaan yaitu:
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350
sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil
dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4
Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama
Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:
2 NRTI + 1 NNRTI
Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:
Penggunaan d4T (Stavudine) dikurangi sebagai paduan lini pertama karena
pertimbangan toksisitasnya.
Terapi lini kedua harus memakai Protease Inhibitor (PI) yang diperkuat oleh
Ritonavir (ritonavir-boosted) ditambah dengan 2 NRTI, dengan pemilihan
Zidovudine (AZT) atau Tenofovir (TDF) tergantung dari apa yang digunakan
pada lini pertama dan ditambah Lamivudine (3TC) atau Emtricitabine (FTC).
PI yang ada di Indonesia dan dianjurkan digunakan adalah
Lopinavir/Ritonavir (LPV/r).
Tatalaksana infeksi oportunistik sesuai dengan gejala yang muncul.
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)
Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan
pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan
pencegahan, yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder.
a. Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk
mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.
- 76 -
b. Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang
ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah
diderita sebelumnya.
Pemberian kotrimoksasol untuk mencegah (secara primer maupun sekunder)
terjadinya PCP dan Toxoplasmosis disebut sebagai Pengobatan Pencegahan
Kotrimoksasol (PPK).
PPK dianjurkan bagi:
a. ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan
hamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat
menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam
jiwa pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) atau gejala
klinis supresi imun (stadium klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang
memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil harus melanjutkan
profilaksis kotrimoksasol.
b. ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia
pemeriksaan dan hasil CD4)
Kotrimoksasol untuk pencegahan sekunder diberikan setelah terapi PCP atau
Toxoplasmosis selesai dan diberikan selama 1 tahun.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan (bila diperlukan)
Pemeriksaan darah lainnya.
Rencana Tindak Lanjut
a. Pasien yang belum memenuhi syarat terapi ARV
Perlu dimonitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6
bulan sekali. Evaluasi klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi
awal termasuk pemantauan berat badan dan munculnya tanda dan
gejala klinis perkembangan infeksi HIV sehingga terkontrol
perkembangan stadium klinis pada setiap kunjungan dan menentukan
saat pasien mulai memenuhi syarat untuk terapi profilaksis
kotrimoksazol dan atau terapi ARV.
Berbagai faktor mempengaruhi perkembangan klinis dan imunologis
sejak terdiagnosis terinfeksi HIV. Penurunan jumlah CD4 setiap
tahunnya adalah sekitar 50 sampai 100 sel/mm3.
Evaluasi klinis dan jumlah CD4 perlu dilakukan lebih ketat ketika mulai
mendekati ambang dan syarat untuk memulai terapi ARV.
b. Pemantauan Pasien dalam Terapi Antiretroviral
1. Pemantauan klinis
Frekuensi pemantauan klinis tergantung dari respon terapi ARV.
Sebagai batasan minimal, Pemantauan klinis perlu dilakukan pada
minggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu sejak memulai terapi ARV dan
kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil.
Pada setiap kunjungan perlu dilakukan penilaian klinis termasuk
tanda dan gejala efek samping obat atau gagal terapi dan frekuensi
infeksi (infeksi bakterial, kandidiasis dan atau infeksi oportunirtik
lainnya) ditambah konseling untuk membantu pasien memahami
terapi ARV dan dukungan kepatuhan.
2. Pemantauan laboratoris
• Direkomendasikan untuk melakukan pemantauan CD4 secara
rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis.
• Untuk pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu
dilakukan pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai
terapi dan pada minggu ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada
indikasi tanda dan gejala anemia
• Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan
bila ada tanda dan gejala dan bukan berdasarkan sesuatu yang
rutin. Akan tetapi bila menggunakan NVP untuk perempuan
dengan CD4 antara 250–350 sel/mm3 maka perlu dilakuan
pemantauan enzim transaminase pada minggu 2, 4, 8 dan 12
sejak memulai terapi ARV (bila memungkinkan), dilanjutkan
dengan pemantauan berdasarkan gejala klinis.
• Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang
mendapatkan TDF.
• Keadaan hiperlaktatemia dan asidosis laktat dapat terjadi pada
beberapa pasien yang mendapatkan NRTI, terutama d4T atau ddI.
Tidak direkomendasi untuk pemeriksaan kadar asam laktat secara
rutin, kecuali bila pasien menunjukkan tanda dan gejala yang
mengarah pada asidosis laktat.
• Penggunaan Protease Inhibitor (PI) dapat mempengaruhi
metabolisme glukosa dan lipid. Beberapa ahli menganjurkan
pemeriksaan gula darah dan profil lipid secara reguler tetapi lebih
diutamakan untuk dilakukan atas dasar tanda dan gejala.
• Pengukuran Viral Load (VL) sampai sekarang tidak dianjurkan
untuk memantau pasien dalam terapi ARV dalam keadaan
terbatas fasilitas dan kemampuan pasien. Pemeriksaan VL
digunakan untuk membantu diagnosis gagal terapi. Hasil VL
dapat memprediksi gagal terapi lebih awal dibandingkan dengan
hanya menggunakan pemantauan klinis dan pemeriksaan jumlah
CD4. Jika pengukuran VL dapat dilakukan maka terapi ARV
diharapkan menurunkan VL menjadi tidak terdeteksi
(undetectable) setelah bulan ke 6.
3. Pemantauan pemulihan jumlah sel CD4
Pemberian terapi ARV akan meningkatkan jumlah CD4. Hal ini akan
berlanjut bertahun-tahun dengan terapi yang efektif. Keadaan
tersebut, kadang tidak terjadi, terutama pada pasien dengan jumlah
CD4 yang sangat rendah pada saat mulai terapi. Meskipun demikian,
pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah tetap dapat mencapai
pemulihan imun yang baik tetapi memerlukan waktu yang lebih
lama.
Pada pasien yang tidak pernah mencapai jumlah CD4 yang lebih dari
100 sel/mm3 dan atau pasien yang pernah mencapai jumlah CD4
yang tinggi tetapi kemudian turun secara progresif tanpa ada
penyakit/kondisi medis lain, maka perlu dicurigai adanya keadaan
gagal terapi secara imunologis.
Keterangan:
a. Hasil tes HIV (+) yang tercatat (meskipun sudah lama) sudah cukup
untuk dasar memulai terapi ARV. Bila tidak ada dokumen tertulis,
dianjurkan untuk dilakukan tes HIV sebelum memulai terapi ARV
b. Bagi pasien yang mendapat AZT: perlu di periksa kadar hemoglobin
sebelum terapi AZT dan pada minggu ke 4, 8 dan 12, dan bila
diperlukan (misal ada tanda dan gejala anemia atau adanya obat lain
yang bisa menyebabkan anemia).
c. Lakukan tes kehamilan sebelum memberikan EFV pada ODHA
perempuan usia subur. Bila hasil tes positif dan kehamilan pada
trimester pertama maka jangan diberi EFV.
d. Bila hasil tes kehamilan positif pada perempuan yang sudah terlanjur
mendapatkan EFV maka segera ganti dengan paduan yang tidak
mengandung EFV
e. Pasien yang mendapat TDF, perlu pemeriksaan kreatinin serum pada
awal, dan setiap 3 bulan pada tahun pertama kemudian jika stabil dapat
dilakukan setiap 6 bulan.
f. Pengukuran viral load (HIV RNA) tidak dianjurkan sebagai dasar
pengambilan keputusan untuk memulai terapi ARV atau sebagai alat
pemantau respon pengobatan pada saat tersebut. Dapat
dipertimbangkan sebagai Diagnosis dini adanya kegagalan terapi atau
menilai adanya ketidaksesuaian antara hasil CD4 dan keadaan klinis
dari pasien yang diduga mengalami kegagalan terapi ARV.
- 80 -
Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit
HIV/AIDS. Pasien disarankan untuk bergabung dengan kelompok
penanggulangan HIV/AIDS untuk menguatkan dirinya dalam menghadapi
pengobatan penyakitnya.
Kriteria Rujukan
a. Rujukan horizontal bila fasilitas untuk pemeriksaan HIV tidak dapat
dilakukan di layanan primer.
b. Rujukan vertikal bila terdapat pasien HIV/AIDS dengan komplikasi.
Sarana Prasarana
a. Obat: ARV, obat-obat infeksi oportunistik, obat koinfeksi
b. Laboratorium: darah rutin, , urin rutin , CD4, VL, fungsi hati dan fungsi
ginjal.
c. Radiologi
Prognosis
Prognosis sangat tergantung kondisi pasien saat datang dan pengobatan.
Terapi hingga saat ini adalah untuk memperpanjang masa hidup, belum
merupakan terapi definitif, sehingga prognosis pada umumnya dubia ad
malam.
Kematian dalam Terapi Antriretroviral
Sejak dimulainya terapi ARV, angka kematian yang berhubungan dengan HIV
semakin turun. Secara umum, penyebab kematian pasien dengan infeksi HIV
disebabkan karena penanganan infeksi oportunistik yang tidak adekuat, efek
samping ARV berat (Steven Johnson Syndrome), dan keadaan gagal fungsi hati
stadium akhir (ESLD - End Stage Liver Disease) pada kasus ko-infeksi
HIV/HVB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar