• This is default featured slide 1 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 2 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 3 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

HIV-AIDS tanpa Komplikasi

HIV/AIDS tanpa Komplikasi

No. ICPC II : B90 HIV-infection/AIDS
No. ICD X : Z21 Asymptomatic human immunodeficiency virus (HIV) infection
status
Tingkat Kemampuan: 4A
Masalah Kesehatan
HIV adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sel-sel
kekebalan tubuh.
AIDS atau Acquired Immunodefficiency Syndrome adalah kumpulan gejala
akibat penurunan kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan :
Pasien datang dapat dengan keluhan yang berbeda-beda antara lain demam
atau diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan.
Keluhan disertai kehilangan berat badan (BB) >10% dari BB dasar. Keluhan
lain bergantung dari penyakit yang menyertainya, seperti:
a. Kulit: kulit kering yang luas, terdapat kutil di genital.
b. Infeksi:
1. Jamur, seperti kandidiasis oral, dermatitis seboroik atau kandidiasis
vagina berulang.
2. Virus, seperti herpes zoster berulang atau lebih dari satu dermatom,
herpes genital berulang, moluskum kontagiosum, kondiloma.
3. Gangguan napas, seperti tuberculosis, batuk >1 bulan, sesak napas,
pneumonia berulang, sinusitis kronis
4. Gejala neurologis, seperti nyeri kepala yang semakin parah dan tidak
jelas penyebabnya, kejang demam, menurunnya fungsi kognitif.
Faktor Risiko
a. Hubungan seksual yang berisiko/tidak aman
b. Pengguna napza suntik
c. Transfusi
d. Pembuatan tato dan atau alat medis/alat tajam yang tercemar HIV
e. Bayi dari ibu dengan HIV/AIDS
f. Pasangan serodiskordan – salah satu pasangan positif HIV

Keadaan tersebut diatas merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV (WHO
Searo 2007)
Penularan HIV melalui:
a. Transmisi seksual
b. Produk Darah
c. Dari Ibu ke Janin
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi tanda-tanda vital, BB, tanda-tanda yang mengarah
kepada infeksi oportunistik sesuai dengan stadium klinis HIV seperti yang
terdapat pada tabel di bawah ini.

Tabel 9. Stadium klinis HIV

Stadium 1
• Tidak ada gejala
• Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2
• Penurunan berat badan bersifat sedang yang tidak diketahui
  penyebabnya (<10% dari perkiraan berat badan atau berat badan
  sebelumnya)
• Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsilitis, otitis
   media, faringitis)
• Herpes zoster
• Keilitis Angularis
• Ulkus mulut yang berulang
• Ruam kulit berupa papel yang gatal (Papular pruritic eruption)
• Dermatitis seboroik
• Infeksi jamur pada kuku
Stadium 3
• Penurunan berat badan yang tak diketahui penyebabnya (lebih dari
10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)
• Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1
bulan
• Demam menetap yang tak diketahui penyebab
• Kandidiasis pada mulut yang menetap
• Oral hairy leukoplakia
• Tuberkulosis paru
• Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema,
meningitis, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, bakteraemia,
penyakit inflamasi panggul yang berat)
• Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis
• Anemi yang tak diketahui penyebabnya (<8g/dl), netropeni (<0.5 x
10 g/l) dan/atau trombositopenia kronis (<50 x 10 g/l)

Stadium 4
• Sindrom wasting HIV
• Pneumonia Pneumocystis
jiroveci
• Pneumonia bakteri berat
yang berulang
• Infeksi Herpes simplex kronis
(orolabial, genital, atau
anorektal selama lebih dari 1
bulan atau viseral di bagian
manapun)
• Kandidiasis esofageal (atau
kandidiasis trakea, bronkus
atau paru)
• Tuberkulosis ekstra paru
• Sarkoma Kaposi
• Penyakit cytomegalovirus
(retinitis atau infeksi organ
lain, tidak termasuk hati,
limpa dan kelenjar getah
bening)
• Toksoplasmosis di sistim
saraf pusat
• Ensefalopati HIV
• Pneumonia Kriptokokus
ekstrapulmoner, termasuk
meningitis
• Infeksi mycobacteria non
tuberkulosis yang menyebar
• Leukoencephalopathy
multifocal progresif
• Cyrptosporidiosis kronis
• Isosporiasis kronis
• Mikosis diseminata
(histoplasmosis,
coccidiomycosis)
• Septikemi yang
berulang(termasuk
Salmonella non-tifoid)
• Limfoma (serebral atau Sel B
non-Hodgkin)
• Karsinoma serviks invasif
• Leishmaniasis diseminata
atipikal
• Nefropati ataukardiomiopati
terkait HIV yang simtomatis

Pemeriksaan Penunjang
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan
nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3
(untuk penegakan Diagnosis, menggunakan 3 macam tes dengan titik tangkap
yang berbeda) dan selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi
singkat.
Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA.
Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang
tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3)
menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (>99%).
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3
bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang
dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil ”negatif”, maka perlu
dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko.
Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV
a. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary Counseling &
Testing)
b. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (TIPK – PITC =
Provider-Initiated Testing and Counseling)
TIPK merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan
kesehatan yang berarti semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes HIV
setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan
tanda klinis diduga terinfeksi HIV, pasien dari kelompok berisiko (penasun,
PSK-pekerja seks komersial, LSL – lelaki seks dengan lelaki), pasien IMS dan
seluruh pasangan seksualnya.
Kegiatan memberikan anjuran dan pemeriksaan tes HIV perlu disesuaikan
dengan prinsip bahwa pasien sudah mendapatkan informasi yang cukup dan
menyetujui untuk tes HIV dan semua pihak menjaga kerahasiaan (prinsip 3C –
counseling, consent, confidentiality)
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil tes
HIV.
Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke Pelayanan
Dukungan Pengobatan untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi
penilaian stadium klinis, penilaian imunologis dan penilaian virologi.
Hal tersebut dilakukan untuk:
a. Menentukan apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk terapi
antiretroviral.
b. Menilai status supresi imun pasien.
c. Menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi.
d. Menentukan paduan obat ARV yang sesuai.
Penilaian yang dilakukan pada pasien HIV/AIDS adalah sebagai berikut:
a. Penilaian Stadium Klinis
Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali
kunjungan untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu.
b. Penilaian Imunologi (pemeriksaan jumlah CD4)
Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA.
Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan klinis untuk menentukan
pasien yang memerlukan pengobatan profilaksis IO dan terapi ARV.
Rata-rata penurunan CD4 adalah sekitar 70-100 sel/mm3/tahun,
dengan peningkatan setelah pemberian ARV antara 50–100
sel/mm3/tahun. Jumlah limfosit total (TLC) tidak dapat menggantikan
pemeriksaan CD4.
c. Pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi
Pada dasarnya pemantauan laboratorium bukan merupakan
persyaratan mutlak untuk menginisiasi terapi ARV. Pemeriksaan CD4
dan viral load juga bukan kebutuhan mutlak dalam pemantauan pasien
yang mendapat terapi ARV, namun pemantauan laboratorium atas
indikasi gejala yang ada sangat dianjurkan untuk memantau keamanan
dan toksisitas pada ODHA yang menerima terapi ARV. Hanya apabila
sumberdaya memungkinkan maka dianjurkan melakukan pemeriksaan
viral load pada pasien tertentu untuk mengkonfirmasi adanya gagal
terapi menurut kriteria klinis dan imunologis.

Tabel 10. Pemeriksaan laboratorium yang ideal sebelum memulai ART
Pemeriksaan Laboratorium yang ideal sebelum memulai ART apabila
sumber daya memungkinkan

• Darah lengkap*
• Jumlah CD4*
• SGOT/SGPT*
• Kreatinin serum
• Urinalisa*
• HbsAg*
• Anti-HCV (untuk ODHA IDU atau
dengan riwayat IDU)
• Profil lipid serum
• Gula darah
• VDRL/TPHA/PRP
• Rontgen dada (utamanya bila
curiga ada infeksi paru)
• Tes kehamilan (perempuan usia
reproduktif dan perlu anamnesis
menstruasi terakhir)
• PAP smear/IFA-IMS untuk
menyingkirkan adanya Ca Cervix
yang pada ODHA bisa bersifat
progresif)
• Jumlah virus/Viral Load RNA
HIV** dalam plasma (bila tersedia
dan bila pasien mampu)
Catatan:

* adalah pemeriksaan yang minimal perlu dilakukan sebelum terapi ARV
karena berkaitan dengan pemilihan obat ARV. Tentu saja hal ini perlu
mengingat ketersediaan sarana dan indikasi lainnya.
** pemeriksaan jumlah virus memang bukan merupakan anjuran untuk
dilakukan sebagai pemeriksaan awal tetapi akan sangat berguna (bila pasien
punya data) utamanya untuk memantau perkembangan dan menentukan
suatu keadaan gagal terapi.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Layanan terkait HIV meliputi:
a. Upaya dalam menemukan pasien HIV secara dini dengan melakukan tes
dan konseling HIV pada pasien yang datang ke layanan primer.
b. Perawatan kronis bagi ODHA dan dukungan lain dengan sistem rujukan
ke berbagai fasilitas layanan lain yang dibutuhkan ODHA. Layanan
perlu dilakukan secara terintegrasi, paripurna, dan berkesinambungan.
Infeksi HIV merupakan infeksi kronis dengan berbagai macam infeksi
oportunistik yang memiliki dampak sosial terkait stigma dan
diskriminasi serta melibatkan berbagai unsur dengan pendekatan tim.
Perlu dilakukan upaya pencegahan. Strategi pencegahan HIV menurut rute
penularan, yaitu:
a. Untuk transmisi seksual:
1. Program perubahan perilaku berisiko, termasuk promosi kondom.
2. Pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah.
3. Konseling dan tes HIV.
4. Skrening IMS dan penanganannya.
5. Terapi antiretrovirus pada pasien HIV.
b. Untuk transmisi darah:
1. Pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik.
2. Keamanan penanganan darah.
3. Kontrol infeksi di RS.
4. Post exposure profilaksis.
c. Untuk transmisi ibu ke anak:
1. Menganjurkan tes HIV dan IMS pada setiap ibu hamil.
2. Terapi ARV pada semua ibu hamil yang terinfeksi HIV.
3. Persalinan seksiosesaria dianjurkan.
4. Dianjurkan tidak memberikan ASI ke bayi, namun diganti dengan
susu formula.
5. Layanan kesehatan reproduksi.
Setiap daerah diharapkan menyediakan semua komponen layanan HIV yang
terdiri dari:
a. Informed consent untuk tes HIV seperti tindakan medis lainnya.
b. Mencatat semua kegiatan layanan dalam formulir yang sudah
ditentukan.
c. Anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap oleh dokter.
d. Skrining TB dan infeksi oportunistik.
e. Konseling bagi ODHA perempuan usia subur tentang KB dan kesehatan
reproduksi termasuk rencana untuk mempunyai anak.
f. Pemberian obat kotrimoksasol sebagai pengobatan pencegahan infeksi
oportunistik.
g. Pemberian ARV untuk ODHA yang telah memenuhi syarat.
h. Pemberian ARV profilaksis pada bayi segera setelah dilahirkan oleh ibu
hamil dengan HIV.
i. Pemberian imunisasi dan pengobatan pencegahan kotrimoksasol pada
bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif.
j. Anjuran rutin tes HIV, malaria, sifilis dan IMS lainnya pada perawatan
antenatal (ANC).
k. Konseling untuk memulai terapi.
- 73 -
l. Konseling tentang gizi, pencegahan penularan, narkotika dan konseling
lainnya sesuai keperluan.
m. Menganjurkan tes HIV pada pasien TB, infeksi menular seksual (IMS),
dan kelompok risiko tinggi beserta pasangan seksualnya, sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
n. Pendampingan oleh lembaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien.

Tatalaksana Pemberian ARV
Saat Memulai Terapi ARV
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4
(bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut
adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi
antiretroviral atau belum.
Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai
terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.
b. Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi sesuai dengan hasil pemeriksaan yaitu:
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350
sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil
dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4



Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama
Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:
2 NRTI + 1 NNRTI
Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:






Penggunaan d4T (Stavudine) dikurangi sebagai paduan lini pertama karena
pertimbangan toksisitasnya.
Terapi lini kedua harus memakai Protease Inhibitor (PI) yang diperkuat oleh
Ritonavir (ritonavir-boosted) ditambah dengan 2 NRTI, dengan pemilihan
Zidovudine (AZT) atau Tenofovir (TDF) tergantung dari apa yang digunakan
pada lini pertama dan ditambah Lamivudine (3TC) atau Emtricitabine (FTC).
PI yang ada di Indonesia dan dianjurkan digunakan adalah
Lopinavir/Ritonavir (LPV/r).
Tatalaksana infeksi oportunistik sesuai dengan gejala yang muncul.
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)
Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan
pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan
pencegahan, yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder.
a. Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk
mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.
- 76 -
b. Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang
ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah
diderita sebelumnya.
Pemberian kotrimoksasol untuk mencegah (secara primer maupun sekunder)
terjadinya PCP dan Toxoplasmosis disebut sebagai Pengobatan Pencegahan
Kotrimoksasol (PPK).
PPK dianjurkan bagi:
a. ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan
hamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat
menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam
jiwa pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) atau gejala
klinis supresi imun (stadium klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang
memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil harus melanjutkan
profilaksis kotrimoksasol.
b. ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia
pemeriksaan dan hasil CD4)



Kotrimoksasol untuk pencegahan sekunder diberikan setelah terapi PCP atau
Toxoplasmosis selesai dan diberikan selama 1 tahun.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan (bila diperlukan)
Pemeriksaan darah lainnya.
Rencana Tindak Lanjut
a. Pasien yang belum memenuhi syarat terapi ARV
Perlu dimonitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6
bulan sekali. Evaluasi klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi
awal termasuk pemantauan berat badan dan munculnya tanda dan
gejala klinis perkembangan infeksi HIV sehingga terkontrol
perkembangan stadium klinis pada setiap kunjungan dan menentukan
saat pasien mulai memenuhi syarat untuk terapi profilaksis
kotrimoksazol dan atau terapi ARV.
Berbagai faktor mempengaruhi perkembangan klinis dan imunologis
sejak terdiagnosis terinfeksi HIV. Penurunan jumlah CD4 setiap
tahunnya adalah sekitar 50 sampai 100 sel/mm3.
Evaluasi klinis dan jumlah CD4 perlu dilakukan lebih ketat ketika mulai
mendekati ambang dan syarat untuk memulai terapi ARV.
b. Pemantauan Pasien dalam Terapi Antiretroviral
1. Pemantauan klinis
Frekuensi pemantauan klinis tergantung dari respon terapi ARV.
Sebagai batasan minimal, Pemantauan klinis perlu dilakukan pada
minggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu sejak memulai terapi ARV dan
kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil.
Pada setiap kunjungan perlu dilakukan penilaian klinis termasuk
tanda dan gejala efek samping obat atau gagal terapi dan frekuensi
infeksi (infeksi bakterial, kandidiasis dan atau infeksi oportunirtik
lainnya) ditambah konseling untuk membantu pasien memahami
terapi ARV dan dukungan kepatuhan.
2. Pemantauan laboratoris
• Direkomendasikan untuk melakukan pemantauan CD4 secara
rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis.
• Untuk pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu
dilakukan pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai
terapi dan pada minggu ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada
indikasi tanda dan gejala anemia
• Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan
bila ada tanda dan gejala dan bukan berdasarkan sesuatu yang
rutin. Akan tetapi bila menggunakan NVP untuk perempuan
dengan CD4 antara 250–350 sel/mm3 maka perlu dilakuan
pemantauan enzim transaminase pada minggu 2, 4, 8 dan 12

sejak memulai terapi ARV (bila memungkinkan), dilanjutkan
dengan pemantauan berdasarkan gejala klinis.
• Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang
mendapatkan TDF.
• Keadaan hiperlaktatemia dan asidosis laktat dapat terjadi pada
beberapa pasien yang mendapatkan NRTI, terutama d4T atau ddI.
Tidak direkomendasi untuk pemeriksaan kadar asam laktat secara
rutin, kecuali bila pasien menunjukkan tanda dan gejala yang
mengarah pada asidosis laktat.
• Penggunaan Protease Inhibitor (PI) dapat mempengaruhi
metabolisme glukosa dan lipid. Beberapa ahli menganjurkan
pemeriksaan gula darah dan profil lipid secara reguler tetapi lebih
diutamakan untuk dilakukan atas dasar tanda dan gejala.
• Pengukuran Viral Load (VL) sampai sekarang tidak dianjurkan
untuk memantau pasien dalam terapi ARV dalam keadaan
terbatas fasilitas dan kemampuan pasien. Pemeriksaan VL
digunakan untuk membantu diagnosis gagal terapi. Hasil VL
dapat memprediksi gagal terapi lebih awal dibandingkan dengan
hanya menggunakan pemantauan klinis dan pemeriksaan jumlah
CD4. Jika pengukuran VL dapat dilakukan maka terapi ARV
diharapkan menurunkan VL menjadi tidak terdeteksi
(undetectable) setelah bulan ke 6.
3. Pemantauan pemulihan jumlah sel CD4
Pemberian terapi ARV akan meningkatkan jumlah CD4. Hal ini akan
berlanjut bertahun-tahun dengan terapi yang efektif. Keadaan
tersebut, kadang tidak terjadi, terutama pada pasien dengan jumlah
CD4 yang sangat rendah pada saat mulai terapi. Meskipun demikian,
pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah tetap dapat mencapai
pemulihan imun yang baik tetapi memerlukan waktu yang lebih
lama.
Pada pasien yang tidak pernah mencapai jumlah CD4 yang lebih dari
100 sel/mm3 dan atau pasien yang pernah mencapai jumlah CD4
yang tinggi tetapi kemudian turun secara progresif tanpa ada
penyakit/kondisi medis lain, maka perlu dicurigai adanya keadaan
gagal terapi secara imunologis.


Keterangan:
a. Hasil tes HIV (+) yang tercatat (meskipun sudah lama) sudah cukup
untuk dasar memulai terapi ARV. Bila tidak ada dokumen tertulis,
dianjurkan untuk dilakukan tes HIV sebelum memulai terapi ARV
b. Bagi pasien yang mendapat AZT: perlu di periksa kadar hemoglobin
sebelum terapi AZT dan pada minggu ke 4, 8 dan 12, dan bila
diperlukan (misal ada tanda dan gejala anemia atau adanya obat lain
yang bisa menyebabkan anemia).
c. Lakukan tes kehamilan sebelum memberikan EFV pada ODHA
perempuan usia subur. Bila hasil tes positif dan kehamilan pada
trimester pertama maka jangan diberi EFV.
d. Bila hasil tes kehamilan positif pada perempuan yang sudah terlanjur
mendapatkan EFV maka segera ganti dengan paduan yang tidak
mengandung EFV
e. Pasien yang mendapat TDF, perlu pemeriksaan kreatinin serum pada
awal, dan setiap 3 bulan pada tahun pertama kemudian jika stabil dapat
dilakukan setiap 6 bulan.
f. Pengukuran viral load (HIV RNA) tidak dianjurkan sebagai dasar
pengambilan keputusan untuk memulai terapi ARV atau sebagai alat
pemantau respon pengobatan pada saat tersebut. Dapat
dipertimbangkan sebagai Diagnosis dini adanya kegagalan terapi atau
menilai adanya ketidaksesuaian antara hasil CD4 dan keadaan klinis
dari pasien yang diduga mengalami kegagalan terapi ARV.
- 80 -
Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit
HIV/AIDS. Pasien disarankan untuk bergabung dengan kelompok
penanggulangan HIV/AIDS untuk menguatkan dirinya dalam menghadapi
pengobatan penyakitnya.
Kriteria Rujukan
a. Rujukan horizontal bila fasilitas untuk pemeriksaan HIV tidak dapat
dilakukan di layanan primer.
b. Rujukan vertikal bila terdapat pasien HIV/AIDS dengan komplikasi.
Sarana Prasarana
a. Obat: ARV, obat-obat infeksi oportunistik, obat koinfeksi
b. Laboratorium: darah rutin, , urin rutin , CD4, VL, fungsi hati dan fungsi
ginjal.
c. Radiologi
Prognosis
Prognosis sangat tergantung kondisi pasien saat datang dan pengobatan.
Terapi hingga saat ini adalah untuk memperpanjang masa hidup, belum
merupakan terapi definitif, sehingga prognosis pada umumnya dubia ad
malam.
Kematian dalam Terapi Antriretroviral
Sejak dimulainya terapi ARV, angka kematian yang berhubungan dengan HIV
semakin turun. Secara umum, penyebab kematian pasien dengan infeksi HIV
disebabkan karena penanganan infeksi oportunistik yang tidak adekuat, efek
samping ARV berat (Steven Johnson Syndrome), dan keadaan gagal fungsi hati
stadium akhir (ESLD - End Stage Liver Disease) pada kasus ko-infeksi
HIV/HVB.
Share:

Anemia

Anemia
No. ICPC II : B82 Anaemia other/unspecified
No. ICD X : D64.9 Anaemia, unspecified
Tingkat Kemampuan:












Daftar Penyakit Tingkat Kemampuan
Anemia defisiensi besi 4A
Anemia hemolitik 3A
Anemia makrositik 3A
Anemia aplastik 2
Anemia megaloblastik 2
Masalah Kesehatan
Penurunan kadar Hemoglobin yang menyebabkan penurunan kadar oksigen
yang didistribusikan ke seluruh tubuh sehingga menimbulkan berbagai
keluhan (sindrom anemia).

Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang ke dokter dengan keluhan lemah, lesu, letih, lelah, penglihatan
berkunang-kunang, pusing, telinga berdenging dan penurunan konsentrasi.
Faktor Risiko
a. Ibu hamil
b. Remaja putri
c. Pemakaian obat cephalosporin, chloramphenicol jangka panjang
d. Status gizi kurang
e. Faktor ekonomi kurang
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
a. Mukokutaneus: pucat–indikator yang cukup baik, sianotik, atrofi papil
lidah (anemia defisiensi besi dan anemia pernisiosa), alopesia (anemia
defisiensi besi), ikterik (anemia hemolitik), koilonikia (anemia defisiensi
besi), glositis (anemia pernisiosa), rambut kusam, vitiligo (anemia
pernisiosa).
b. Kardiovaskular : takikardi, bising jantung.
c. Respirasi : frekuensi napas (takipnea).
d. Mata: konjungtiva pucat.
Tanda dan gejala lain dapat dijumpai sesuai dengan penyebab dari anemia
tersebut, yaitu:
a. Mata: dapat mencerminkan adanya manifestasi dari suatu anemia
tertentu (misal : perdarahan pada anemia aplastik)
b. Gastrointestinal : ulkus oral dapat menandakan suatu imunodefisiensi
(anemia aplastik, leukemia), colok dubur
c. Urogenital (inspekulo) : massa pada organ genitalia wanita
d. Abdomen : hepatomegali, splenomegali, massa
e. Status gizi kurang
Faktor Predisposisi
a. Infeksi kronik
b. Keganasan
c. Pola makan (Vegetarian)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah: Hemoglobin (Hb), Hematokrit (Ht), leukosit, trombosit,
jumlah eritrosit, morfologi darah tepi (apusan darah tepi), MCV, MCH, MCHC,
retikulosit.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil
pemeriksaan darah dengan kriteria Hb darah kurang dari kadar Hb normal.
Nilai rujukan kadar hemoglobin normal menurut WHO:
Laki-laki: > 13 g/dl
Perempuan: > 12 g/dl
Perempuan hamil: > 11 g/dl
Klasifikasi :


Gambar 11. Penyebab Anemia
Catatan:
Memakai bagan alur berdasarkan morfologi (MCH, MCV): hipokromik
mikrositer, normokromik normositer dan makrositer
Diagnosis Banding
a. Anemia defesiensi besi
b. Anemia defisiensi vit B12, asam folat
c. Anemia Aplastik
d. Anemia Hemolitik
e. Anemia pada penyakit kronik
Komplikasi
a. Gagal jantung
b. Syncope
- 66 -
Rencana Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Atasi penyebab yang mendasarinya. Jika didapatkan kegawatan (misal:
anemia gravis atau distres pernafasan), pasien segera dirujuk.
Pada anemia defisiensi besi:
a. Anemia dikoreksi peroral: 3 – 4x sehari dengan besi elemental 50 – 65
mg
1. Sulfas ferrosus 3 x 1 tab (325 mg mengandung 65 mg besi elemental,
195; 39).
2. Ferrous fumarat 3 x 1 tab (325; 107 dan 195; 64).
3. Ferrous glukonat 3 x 1 tab (325; 39).
b. Pasien diinformasikan mengenai efek samping obat: mual, muntah,
heartburn, konstipasi, diare, BAB kehitaman.
c. Jika tidak dapat mentoleransi koreksi peroral atau kondisi akut maka
dilakukan koreksi parenteral segera.
Pada anemia defisiensi asam folat dan defisiensi B12
a. Anemia dikoreksi peroral dengan:
1. Vitamin B12 80 mikrogram (dalam multivitamin).
2. Asam folat 500 – 1000 mikrogram (untuk ibu hamil 1 mg).
b. Koreksi cepat (parenteral atau i.m)  oleh dokter spesialis
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan (bila diperlukan)
a. Anemia defisiensi besi: ferritin serum, SI, TIBC
b. Anemia hemolitik: bilirubin, LDH, tes fragilitas osmotik, Acid Ham’s test,
tes Coombs’
c. Anemia megaloblastik: serum folat, serum cobalamin
d. Thalassemia: elektroforesis hemoglobin
e. Anemia aplastik atau keganasan: biopsi dan aspirasi sumsum tulang
Konseling dan Edukasi
Prinsip konseling pada anemia adalah memberikan pengertian kepada pasien
dan keluarganya tentang perjalanan penyakit dan tata laksananya, sehingga
meningkatkan kesadaran dan kepatuhan dalam berobat serta meningkatkan
kualitas hidup pasien.
Kriteria rujukan
a. Anemia berat dengan indikasi transfusi (Hb < 6 mg%).
b. Untuk anemia karena penyebab yang tidak termasuk kompetensi dokter
layanan primer, dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam.
Sarana Prasarana
Pemeriksaan Laboratorium Sederhana.
- 67 -
Prognosis
Prognosis umumnya tidak sampai mengancam jiwa, namun dubia ad bonam
karena sangat tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Bila penyakit
yang mendasarinya teratasi, dengan nutrisi yang baik, anemia dapat teratasi.
Share:

Syok

Syok
No. ICPC II: K99 Cardiovascular disease other
No. ICD X: R57.9 Shock, unspecified
Tingkat Kemampuan: 3B
Masalah Kesehatan
Syok merupakan salah satu sindroma kegawatan yang memerlukan
penanganan intensif dan agresif. Syok adalah suatu sindroma multifaktorial
yang menuju hipoperfusi jaringan lokal atau sistemis dan mengakibatkan
hipoksia sel dan disfungsi multipel organ. Kegagalan perfusi jaringan dan
hantaran nutrisi dan oksigensistemik yang tidak adekuat tak mampu
memenuhi kebutuhan metabolisme sel.
Karakteristik kondisi ini, yaitu:
a. Ketergantungan suplai oksigen.
b. Kekurangan oksigen.
c. Asidosis jaringan.
Sehingga terjadi metabolisme anaerob dan berakhir dengan kegagalan fungsi
organ vital dan kematian.
Syok diklasifikasikan berdasarkan etiologi, penyebab dan karakteristik pola
hemodinamik yang ditimbulkan, yaitu:
a. Syok Hipovolemik yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen disebabkan
oleh hilangnya sirkulasi volume intravaskuler sebesar >20-25% sebagai
akibat dari perdarahan akut, dehidrasi, kehilangan cairan pada ruang
ketiga atau akibat sekunder dilatasi arteri dan vena.
b. Syok Kardiogenik yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen disebabkan
oleh adanya kerusakan primer fungsi atau kapasitas pompa jantung
untuk mencukupi volume jantung semenit, berkaitan dengan
terganggunya preload, afterload, kontraktilitas, frekuensi ataupun ritme
jantung. Penyebab terbanyak adalah infark miokard akut, keracunan
obat, infeksi/inflamasi, gangguan mekanik.
c. Syok Distributif yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen disebabkan
oleh menurunnya tonus vaskuler mengakibatkan vasodilatasi arterial,
penumpukan vena dan redistribusi aliran darah. Penyebab dari kondisi
tersebut terutama komponen vasoaktif pada syok anafilaksis; bakteria
dan toksinnya pada septik syok sebagai mediator dari SIRS; hilangnya
tonus vaskuler pada syok neurogenik.
d. Syok Obstruktif yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen berkaitan
dengan terganggunya mekanisme aliran balik darah oleh karena
meningkatnya tekanan intrathorakal atau terganggunya aliran keluar
arterial jantung (emboli pulmoner, emboli udara, diseksi aorta,
hipertensi pulmoner, tamponade perikardial, perikarditis konstriktif)
ataupun keduanya oleh karena obstruksi mekanis.
e. Syok endokrin, disebabkan oleh hipotiroidisme, hipertiroidisme dengan
kolaps kardiak dan insufisiensi adrenal. Pengobatan adalah tunjangan
kardiovaskular sambil mengobati penyebabnya. Insufisiensi adrenal
mungkin kontributor terjadinya syok pada pasien sakit gawat. Pasien
yang tidak respon pada pengobatan harus tes untuk insufisiensi
adrenal.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan lemas atau dapat tidak sadarkan diri.
Gejala klinis juga tergantung etiologi penyebabnya, yang seringterjadi adalah
tromboemboli paru, tamponade jantung, obstruksiarterioventrikuler, tension
pneumothorax.
Untuk identifikasi penyebab, perlu ditanyakan faktor predisposisi seperti
karena infark miokard antara lain: umur, diabetes melitus, riwayat angina,
gagal jantung kongestif, infarkanterior. Tanda awal iskemi jantung akut yaitu
nyeri dada, sesak nafas, diaforesis, gelisah dan ketakutan, nausea dan
vomiting dan gangguan sirkulasilanjut menimbulkan berbagai disfungsi end
organ. Riwayat trauma untuk syok karena perdarahan atau syok neurogenik
pada trauma servikal atau high thoracic spinal cord injury. Demam dan riwayat
infeksi untuk syok septik. Gejala klinis yang timbul setelah kontak dengan
antigen pada syok anafilaktik.
Syok obstruktif, tampak hampir sama dengan syok kardiogenik dan
hipovolemik.
Faktor Risiko : -
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum:
a. Hipotensi dan penyempitan tekanan denyutan (adalah tanda hilangnya
cairan yang berat dan syok).
b. Hiperthermia, normothermia, atau hipothermia dapat terjadi pada syok.
Hipothermia adalah tanda dari hipovolemia berat dan syok septik.
c. Detak jantung naik, frekuensi nafas naik, kesadaran turun.
d. Produksi urine turun. Produksi urine merupakan penunjuk awal
hipovolemia dan respon ginjal terhadap syok.
e. Gambaran klinis syok kardiogenik tampak sama dengan gejala klinis
syok hipovolemik, ditambah dengan adanya disritmia, bising jantung,
gallop.
f. Gejala klinis syok septik tak dapat dilepaskan dari keadaan sepsis
sendiri berupa sindroma reaksi inflamasi sistemik (SIRS) dimana
terdapat dua gejala atau lebih:
1. Temperatur >380C atau <360C.
2. Heart rate >90x/mnt.
3. Frekuensi nafas >20x/mn atau PaCO2< 4,3 kPa.
4. Leukosit >12.000 sel/mm atau < 4000sel/mm atau >10% bentuk
imatur.
g. Efek klinis syok anafilaktik mengenai sistem pernafasan dan sistem
sirkulasi, yaitu terjadi edem hipofaring dan laring, konstriksi bronkus
dan bronkiolus, disertai hipersekresi mukus, dimana semua keadaan ini
menyebabkan spasme dan obstruksi jalan nafas akut.
h. Syok neurogenik ditandai dengan hipotensi disertai bradikardi.
Gangguan neurologis: paralisis flasid, refleks extremitas hilang dan
priapismus.
i. Syok obstruktif, tampak hampir sama dengan syok kardiogenik dan
hipovolemik. Gejala klinis juga tergantung etiologi penyebabnya, yang
sering terjadi adalah tromboemboli paru, tamponade jantung, obstruksi
arterioventrikuler, tension pneumothorax. Gejala ini akan berlanjut
sebagai tanda-tanda akut kor pulmonal dan payah jantung kanan:
pulsasi vena jugularis, gallop, bising pulmonal, aritmia. Karakteristik
manifestasi klinis tamponade jantung: suara jantung menjauh, pulsus
altemans, JVP selama inspirasi. Sedangkan emboli pulmonal: disritmia
jantung, gagal jantung kongesti.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pulse oxymetri
b. EKG
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang.
Diagnosis Banding :-
Komplikasi : Kerusakan otak, koma,kematian.
Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
a. Pengenalan dan restorasi yang cepat dari perfusi adalah kunci
pencegahan disfungsi organ-multipel dan kematian.
b. Pada semua bentuk syok, manajemen jalan nafas dan pernafasan untuk
memastikan oksigenasi pasien baik, kemudian restorasi cepat dengan
infus cairan.
c. Pilihan pertama adalah kristaloid (Ringer laktat/Ringer asetat) disusul
darah pada syok perdarahan. Keadaan hipovolemi diatasi dengan cairan
koloid atau kristaloid sekaligus memperbaiki keadaan asidosis.
d. Pengobatan syok sebelumnya didahului dengan penegakan diagnosis
etiologi. Diagnosis awal etiologi syok adalah esensial, kemudian terapi
selanjutnya tergantung etiologinya.
e. Tindakan invasif seperti intubasi endotrakeal dan cricothyroidotomy atau
tracheostomy dapat dilakukan hanya untuk life saving oleh dokter yang
kompeten.
Syok Hipovolemik:
a. Infus cepat kristaloid untuk ekspansi volume intravaskuler melalui
kanula vena besar (dapat lebih satu tempat) atau melalui vena sentral.
b. Pada perdarahan maka dapat diberikan 3-4 kali dari jumlah
perdarahan. Setelah pemberian 3 liter disusul dengan transfusi darah.
Secara bersamaan sumber perdarahan harus dikontrol.
c. Resusitasi tidak komplit sampai serum laktat kembali normal. Pasien
syok hipovolemik berat dengan resusitasi cairan akan terjadi
penumpukan cairan di rongga ketiga.
d. Vasokonstriksi jarang diperlukan pada syok hipovolemik murni.
Syok Obstruktif:
a. Penyebab syok obstruktif harus diidentifikasi dan segera dihilangkan.
b. Pericardiocentesis atau pericardiotomi untuk tamponade jantung.
c. Dekompressi jarum atau pipa thoracostomy atau keduanya pada
pneumothorax tension
d. Dukungan ventilasi dan jantung, mungkin thrombolisis, dan mungkin
prosedur radiologi intervensional untuk emboli paru.
e. Abdominal compartment syndrome diatasi dengan laparotomy
dekompresif.
Syok Kardiogenik:
a. Optimalkan pra-beban dengan infus cairan.
b. Optimalkan kontraktilitas jantung dengan inotropik sesuai keperluan,
seimbangkan kebutuhan oksigen jantung. Selain itu, dapat dipakai
dobutamin atau obat vasoaktif lain.
c. Sesuaikan pasca-beban untuk memaksimalkan CO. Dapat dipakai
vasokonstriktor bila pasien hipotensi dengan SVR rendah. Pasien syok
kardiogenik mungkin membutuhkan vasodilatasi untuk menurunkan
SVR, tahanan pada aliran darah dari jantung yang lemah. Obat yang
dapat dipakai adalah nitroprusside dan nitroglycerin.
d. Diberikan diuretik bila jantung dekompensasi.
e. PACdianjurkan dipasang untuk penunjuk terapi.
f. Penyakit jantung yang mendasari harus diidentifikasi dan diobati.
Syok Distributif:
a. Pada SIRS dan sepsis, bila terjadi syok ini karena toksin atau mediator
penyebab vasodilatasi. Pengobatan berupa resusitasi cairan segera dan
setelah kondisi cairan terkoreksi, dapat diberikan vasopressor untuk
mencapai MAP optimal. Sering terjadi vasopressor dimulai sebelum prabeban
adekuat tercapai. Perfusi jaringan dan oksigenasi sel tidak akan
optimal kecuali bila ada perbaikan pra-beban.
b. Obat yang dapat dipakai adalah dopamin, nor-epinefrin dan vasopresin.
c. Dianjurkan pemasangan PAC.
d. Pengobatan kausal dari sepsis.
Syok Neurogenik:
a. Setelah mengamankan jalan nafas dan resusitasi cairan, guna
meningkatkantonus vaskuler dan mencegah bradikardi diberikan
epinefrin.
b. Epinefrin berguna meningkatkan tonus vaskuler tetapi akan
memperberat bradikardi, sehingga dapat ditambahkan dopamin dan
efedrin. Agen antimuskarinikatropin dan glikopirolat juga dapat untuk
mengatasi bradikardi.
c. Terapi definitif adalah stabilisasi Medulla spinalis yang terkena.
Syok Anafilaksis (dibahas tersendiri)
Rencana Tindak Lanjut
Mencari penyebab syok dan mencatatnya di rekam medis serta
memberitahukan kepada pasien dan keluarga untuk tindakan lebih lanjut
yang diperlukan.
Konseling dan Edukasi
Keluarga perlu diberitahukan mengenai kemungkinan terburuk yang dapat
terjadi pada pasien dan pencegahan terjadinya kondisi serupa.
Kriteria Rujukan
Setelah kegawatan pasien ditangani, pasien dirujuk ke layanan sekunder.
Sarana Prasarana
a. Infus set
b. Oksigen
c. NaCl 0,9%
d. Senter
e. EKG
Prognosis
Prognosis suatu syok amat tergantung dari kecepatan diagnosa dan
pengelolaannya sehingga pada umumnya adalah dubia ad bonam..
Share:

Reaksi Anafilaktik

Reaksi Anafilaktik
No. ICPC II : A92 Allergy/allergic reaction NOS
No. ICD X :
Tingkat Kemampuan: 4A
Masalah Kesehatan
Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi
alergi) yang bersifat sistemik, cepat dan hebat yang dapat menyebabkan
gangguan respirasi, sirkulasi, pencernaan dan kulit. Jika reaksi tersebut
cukup hebat dapat menimbulkan syok yang disebut sebagai syok anafilaktik.
Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan tepat.
Test kulit yang merupakan salah satu upaya guna menghindari kejadian ini
tidak dapat diandalkan, sebab ternyata dengan test kulit yang negatif tidak
menjamin 100 % untuk tidak timbulnya reaksi anafilaktik dengan pemberian
dosis penuh. Selain itu, test kulit sendiri dapat menimbulkan syok anafilaktik
pada penderita yang amat sensitif. Untuk itu diperlukan pengetahuan serta
keterampilan dalam pengelolaan syok anafilaktik.
Insidens syok anafilaktik 40 – 60 persen adalah akibat gigitan serangga, 20-40
persen akibat zat kontras radiografi, dan 10 – 20 persen akibat pemberian obat
penicillin. Sangat kurang data yang akurat dalam insiden dan prevalensi
terjadinya syok anafilaktik. Anafilaksis yang fatal hanya kira-kira 4 kasus
kematian dari 10 juta masyarakat pertahun. Sebagian besar kasus yang serius
anafilaktik adalah akibat pemberian antibiotik seperti penicillin dan bahan zat
radiologis. Penicillin merupakan penyebab kematian 100 dari 500 kematian
akibat reaksi anafilaksis.
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah
sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan
alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah
makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting,
kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu
adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obatobatan
yang bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya
penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid,
vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi
darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.

Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya
sesuai berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas
seseorang, namun pada tingkat yang berat barupa syok anafilaktik gejala yang
menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi. Kedua gangguan
tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang kronologisnya sangat
bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya makin
cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita.
Gejala respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk
saja yang kemudian segera diikuti dengan sesak napas.
Gejala pada kulit merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada
reaksi anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat
penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal
untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas dan gangguan
sirkulasi. Oleh karena itu setiap gejala kulit berupa gatal, kulit kemerahan
harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat.
Manifestasi dari gangguan gastrointestinal berupa perut kram,mual,muntah
sampai diare yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya
gejala gangguan nafas dan sirkulasi.
Faktor Risiko : -
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak sesak, frekuensi napas meningkat, sianosis karena edema
laring dan bronkospasme. Hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada
syok anafilaktik. Adanya takikardia,edema periorbital, mata berair, hiperemi
konjungtiva. Tanda prodromal pada kulit berupa urtikaria dan eritema.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan
diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan
untuk memonitor hasil pengobatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung
eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE
total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga
dengan derajat alergi yang tinggi.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab
yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji
cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh
sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih
ideal.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American Academy of Allergy,
Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit
hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau keduaduanya
(misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,
kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing,
penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang
berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop,
inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak
setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit
hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit; respiratory
compromise; penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan; dan gejala
gastrointestinal yang persisten.
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada
alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik).
Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur)
atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa,
tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik
lebih dari 30% dari tekanan darah awal.

Diagnosis Banding
Reaksi vasovagal, infarkmiokardakut, reaksihipoglikemik, reaksihisteris,
Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asmabronkiale, dan rhinitis
alergika.

Komplikasi : Kerusakan otak, koma,kematian.
Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
a. Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat
(diganjal dengan kursi) akan membantu menaikkan venous return
sehingga tekanan darah ikut meningkat.
b. Pemberian Oksigen 3–5 ltr/menit harus dilakukan, pada keadaan yang
amat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu
dipertimbangkan.
c. Pemasangan infus, Cairan plasma expander (Dextran) merupakan
pilihan utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya.
Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis
dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus
sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan
stabil.
d. Adrenalin 0,3 – 0,5 ml dari larutan 1 : 1000 diberikan secara
intramuskuler yang dapat diulangi 5–10 menit. Dosis ulangan umumnya
diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon
pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara
intravenous setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spuit 10 ml
dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan,
sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lambat
bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga
absorbsi obat tidak terjadi.
e. Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila
bronkospasme belum hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg
aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat
dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.
f. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah
adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok
anafilaktik, dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna
mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged
effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5 –
20 mg IV dan untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan
deksametason 5 – 10 mg IV atau hidrokortison 100 – 250 mg IV.
g. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti jantung
(cardiac arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus
dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat
kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok anafilaktik
selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter
tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga
perangkat resusitasi (Resuscitation kit) untuk memudahkan tindakan
secepatnya.
h. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis


Gambar 10. Alogaritma penatalaksanaan reaksi anafilaktik

Rencana Tindak Lanjut
Mencari penyebab reaksi anafilaktik dan mencatatnya di rekam medis serta
memberitahukan kepada pasien dan keluarga.
Konseling dan Edukasi
Keluarga perlu diberitahukan mengenai penyuntikan apapun bentuknya
terutama obat-obat yang telah dilaporkan bersifat antigen (serum,penisillin,
anestesi lokal, dll) harus selalu waspada untuk timbulnya reaksi anafilaktik.
Penderita yang tergolong risiko tinggi (ada riwayat asma, rinitis, eksim, atau
penyakit-penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi. Jangan mencoba
menyuntikkan obat yang sama bila sebelumnya pernah ada riwayat alergi
betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti dengan preparat lain yang lebih
aman.
Kriteria Rujukan
Kegawatan pasien ditangani, apabila dengan penanganan yang dilakukan
tidak terdapat perbaikan, pasien dirujuk ke layanan sekunder.
Sarana Prasarana
a. Infus set
b. Oksigen
c. Adrenalin ampul, aminofilin ampul, difenhidramin vial, dexamethasone
ampul
d. NaCl 0,9%
Prognosis
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnosa dan
pengelolaannya karena itu umumnya adalah dubia ad bonam.
Share:

Fixed Drug Eruption (FDE)

Fixed Drug Eruption (FDE)
No. ICPC II : A85 Adverse effect medical agent
No. ICD X : L27.0 Generalized skin eruption due to drugs and medicaments
Tingkat Kemampuan: 4A
Masalah Kesehatan
Fixed Drug Eruption (FDE) adalah salah satu jenis erupsi obat yang sering
dijumpai. Darinamanya dapat disimpulkan bahwa kelainan akan terjadi
berkali-kali pada tempat yang sama. Mempunyai tempat predileksi dan lesi
yang khas berbeda dengan Exanthematous Drug Eruption. FDE merupakan
reaksi alergi tipe 2 (sitotoksik).
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang keluhan kemerahan atau luka pada sekitar mulut, bibir, atau di
alat kelamin, yang terasa panas. Keluhan timbul setelah mengkonsumsi obatobat
yang sering menjadi penyebab seperti Sulfonamid, Barbiturat,
Trimetoprim, dan analgetik.
Anamnesis yang dilakukan harus mencakup riwayat penggunaan obat-obatan
atau jamu. Kelainan timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari setelah
mengkonsumsi obat. Keluhan lain adalah rasa gatal yang dapat disertai
dengan demam yang subfebril.

Faktor Risiko
a. Riwayat konsumsi obat (jumlah, jenis, dosis, cara pemberian, pengaruh
pajanan sinar matahari, atau kontak obat pada kulit terbuka)
b. Riwayat atopi diri dan keluarga
c. Alergi terhadap alergen lain
d. Riwayat alergi obat sebelumnya
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Tanda patognomonis
Lesi khas:
a. Vesikel, bercak
b. Eritema
c. Lesi target berbentuk bulat lonjong atau numular
d. Kadang-kadang disertai erosi
e. Bercak hiperpigmentasi dengan kemerahan di tepinya, terutama pada
lesi berulang
Tempat predileksi:
a. Sekitar mulut
b. Daerah bibir
c. Daerah penis atau vulva


Pemeriksaan penunjang
Biasanya tidak diperlukan
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan

Diagnosis Banding
a. Pemfigoid bulosa,
b. Selulitis,
c. Herpes simpleks,
d. SJS (Steven Johnson Syndrome)

Komplikasi : Infeksi sekunder
Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Prinsip tatalaksana adalah menghentikan obat terduga. Pada dasarnya erupsi
obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera
disingkirkan.
Untuk mengatasi keluhan, farmakoterapi yang dapat diberikan, yaitu:
a. Kortikosteroid sistemik, misalnya prednison tablet 30 mg/hari dibagi
dalam 3 kali pemberian per hari
b. Antihistamin sistemik untuk mengurangi rasa gatal; misalnya
hidroksisin tablet 10 mg/hari 2 kali sehari selama 7 hari atau loratadin
tablet 1x10 mg/hari selama 7 hari
c. Pengobatan topikal
1. Pemberian topikal tergantung dari keadaan lesi, bila terjadi erosi atau
madidans dapat dilakukan kompres NaCl 0,9% atau Larutan
Permanganas kalikus 1/10.000 dengan 3 lapis kasa selama 10-15
menit. Kompres dilakukan 3 kali sehari sampai lesi kering.
2. Terapi dilanjutkan dengan pemakaian topikal kortikosteroid potensi
ringan-sedang, misalnya hidrokortison krim 2.5% atau mometason
furoat krim 0.1%
Konseling dan Edukasi
a. Prinsipnya adalah eliminasi obat terduga
b. Pasien dan keluarga diberitahu untuk membuat catatan kecil di
dompetnya tentang alergi obat yang dideritanya.
c. Memberitahukan bahwa kemungkinan pasien bisa sembuh dengan
adanya hiperpigmentasi pada lokasi lesi. Dan bila alergi berulang terjadi
kelainan yang sama, pada lokasi yang sama.
Kriteria rujukan
a. Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, termasuk mukosa dan
dikhawatirkan akan berkembang menjadi Sindroma Steven Johnson.
b. Bila diperlukan untuk membuktikan jenis obat yang diduga sebagai
penyebab:
1. Uji tempel tertutup, bila negatif lanjutkan dengan
2. Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan
3. Uji provokasi.
c. Bila tidak ada perbaikan setelah mendapatkan pengobatan standar
selama 7 hari dan menghindari obat.
d. Lesi meluas.

Sarana dan Prasarana: -
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, jika pasien tidak mengalami komplikasi atau
tidak memenuhi kriteria rujukan.
Share:

Exanthematous Drug Eruption

Exanthematous Drug Eruption
No. ICPC II : S07 Rash generalized
No. ICD X : L27.0 Generalized skin eruption due to drugs and medicaments
Tingkat Kemampuan: 4A
Masalah Kesehatan
Exanthematous Drug Eruption adalah salah satu bentuk reaksi alergi ringan
pada kulit yang terjadi akibat pemberian obat yang sifatnya sistemik. Obat
yang dimaksud adalah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis,
profilaksis, dan terapi. Bentuk reaksi alergi merupakan reaksi hipersensitivitas
tipe IV (alergi selular tipe lambat) menurut Coomb and Gell. Nama lainnya
adalah erupsi makulopapular atau morbiliformis.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Gatal ringan sampai berat yang disertai kemerahan dan bintil pada kulit.
Kelainan muncul 10-14 hari setelah mulai pengobatan. Biasanya disebabkan
karena penggunaan antibiotik (ampisilin, sulfonamid, dan tetrasiklin) atau
analgetik-antipiretik non steroid.
Kelainan umumnya timbul pada tungkai, lipat paha, dan lipat ketiak,
kemudian meluas dalam 1-2 hari. Gejala diikuti demam subfebril, malaise,
dan nyeri sendi yang muncul 1-2 minggu setelah mulai mengkonsumsi obat,
jamu, atau bahan-bahan yang dipakai untuk diagnostik (contoh: bahan
kontras radiologi).
Faktor Risiko
a. Riwayat konsumsi obat (jumlah, jenis, dosis, cara pemberian, pengaruh
pajanan sinar matahari, atau kontak obat pada kulit terbuka).
b. Riwayat atopi diri dan keluarga.
c. Alergi terhadap alergen lain.
d. Riwayat alergi obat sebelumnya.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
a. Erupsi makulopapular atau morbiliformis.
b. Kelainan dapat simetris.
Tempat predileksi : Tungkai, lipat paha, dan lipat ketiak.

Gambar 8. Exanthematous Drug Eruption
Sumber: http://see.visualdx.com/diagnosis/drug_eruption_exanthematous
Pemeriksaan Penunjang
Biasanya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis :
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis Banding : Morbili
Komplikasi : Eritroderma
Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Prinsip tatalaksana adalah menghentikan obat terduga. Pada dasarnya erupsi
obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera
disingkirkan.
Farmakoterapi yang diberikan, yaitu:
a. Kortikosteroid sistemik: Prednison tablet 30 mg/hari dibagi dalam 3 kali
pemberian per hari selama 1 minggu.
b. Antihistamin sistemik:
1. Setirizin 2x10 mg/hari selama 7 hari bila diperlukan; atau
2. Loratadin 10 mg/hari selama 7 hari bila diperlukan.
c. Topikal : Bedak salisilat 2% dan antipruritus (Menthol 0.5% - 1%).
Konseling dan Edukasi
a. Prinsipnya adalah eliminasi obat penyebab erupsi.
b. Pasien dan keluarga diberitahu untuk membuat catatan kecil di
dompetnya tentang alergi obat yang dideritanya.
c. Memberitahukan bahwa kemungkinan pasien bisa sembuh dengan
adanya hiperpigmentasi pada lokasi lesi.
- 50 -
Kriteria rujukan
a. Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, termasuk mukosa dan
dikhawatirkan akan berkembang menjadi Sindroma Steven Johnson.
b. Bila diperlukan untuk membuktikan jenis obat yang diduga sebagai
penyebab :
1. Uji tempel tertutup, bila negatif lanjutan dengan
2. Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan
3. Uji provokasi
c. Bila tidak ada perbaikan setelah mendapatkan pengobatan standar dan
menghindari obat selama 7 hari
d. Lesi meluas
Sarana Prasarana: -
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, jika pasien tidak mengalami komplikasi atau
tidak memenuhi kriteri rujukan.
Share:

Alergi Makanan

Alergi Makanan
No. ICPC II : A92 Allergy/ allergic reaction NOS
No. ICD X :
Tingkat Kemampuan: 4A
Masalah Kesehatan
a. Alergi makanan adalah suatu respons normal terhadap makanan yang
dicetuskan oleh suatu reaksi yang spesifik didalam suatu sistem imun
dan diekspresikan dalam berbagai gejala yang muncul dalam hitungan
menit setelah makanan masuk; namun gejala dapat muncul hingga
beberapa jam kemudian.
b. Berbagai rekasi lainnya bukan termasuk alergi diantara intoleransi
makanan seperti laktosa atau susu, keracunan makanan, reaksi toksik.
c. Kebanyakan reaksi hipersensitivitas disebabkan oleh susu, kacang,
telur, kedelai, ikan, kerang, gandum.
d. Pada alergi susu dan telur akan berkurang dengan bertambahnya usia.
Alergi kacang dan makanan laut sering pada dewasa.
e. Kebanyakan alergi makanan adalah reaksi hipersensitivitas tipe I (IgE
mediated) atau tipe lambat (late-phase IgE-mediated,immune complexmediated,
cell-mediated).
f. Rekasi anfilaksis merupakan manifestasi paling berat.
g. Alergi makanan tidak berhubungan dengan IBS ,namun harus
dipertimbangkan untuk pasien atopi. Tidak ada bukti kuat bahwa alergi
makanan dalam patogenesis IBD (Irritation Bowel Disease)

h. Kriteria pasti untuk diagnosis alergi makanan adalah cetusan berulang
dari gejala pasien setelah makan makanan tertentu diikuti bukti adanya
suatu mekanisme imunologi.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
a. Pada kulit: eksim, urtikaria. Pada saluran pernapasan : rinitis, asma.
b. Keluhan pada saluran pencernaan: gejala gastrointestinal non spesifik
dan berkisar dari edema, pruritus bibir, mukosa pipi, mukosa faring,
muntah, kram, distensi, diare.
c. Sindroma alergi mulut melibatkan mukosa pipi atau lidah tidak
berhubungan dengan gejala gastrointestinal lainnya.
d. Diare kronis dan malabsorbsi terjadi akibat reaksi hipersensitivitas
lambat non Ig-E-mediated seperti pada enteropati protein makanan dan
penyakit seliak
e. Hipersensitivitas susu sapi pada bayi menyebabkan occult bleeding atau
frank colitis.
Faktor Risiko : terdapat riwayat alergi di keluarga
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan fisik pada kulit dan mukosa serta paru.
Pemeriksaan Penunjang : -
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis :
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik
Diagnosis Banding : Intoksikasi makanan
Komplikasi : Reaksi alergi berat
Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Riwayat reaksi alergi berat atau anafilaksis:
a. Hindari makanan penyebab
b. Jangan lakukan uji kulit atau uji provokasi makanan
c. Gunakan pemeriksaan in vitro (tes radioalergosorbent-RAST)

Rujukan pemeriksaan
a. Uji kulit langsung dengan teknik Prick dengan ekstrak makanan dan
cairan kontrol merupakan metode sederhana dan sensitif mendeteksi
antibodi sel mast spesifik yang berikatan dengan IgE.Hasil positif
(diameter lebih dari 3 mm dari kontrol mengindikasikan adanya antibodi
yang tersensitisasi, yang juga mengindikasikan adanya alergi makanan
yang dapat dikonfirmasi dengan food challenge).
Uji kulit positif:
1. Hindari makanan yang terlibat secara temporer
2. Lakukan uji terbuka
a) Jika uji terbuka positif: hindari makan yang terlibat dan lakukan
uji plasebo tersamar ganda
b) Jika uji terbuka negatif: tidak ada retriksi makanan, amati dan
ulangi test bila gejala muncul kembali
Uji kulit negatif:Hindari makanan yang terlibat temporer diikuti uji
terbuka.
b. Uji provokasi makanan: menunjukkan apakah gejala yang ada
hubungan dengan makanan tertentu. Kontraindikasi untuk pasien
dengan riwayat anafilaksis yang berkaitan dengan makanan.
c. Eliminasi makanan: eliminasi sistemik makanan yang berbeda dengan
pencatatan membantu mengidentifikasi makananan apa yang
menyebabkan alergi
Rencana Tindak Lanjut
a. Edukasi pasien untuk kepatuhan diet pasien
b. Menghindari makanan yang bersifat alergen sengaja mapun tidak
sengaja (perlu konsultasi dengan ahli gizi)
c. Perhatikan label makanan
d. Menyusui bayi sampai usia 6 bulan menimbulkan efek protektif
terhadap alergi makanan
Kriteria Rujukan
Pasien dirujuk apabila pemeriksaan uji kulit, uji provokasi dan eliminasi
makanan terjadi reaksi anafilaksis
Sarana Prasarana
Medikamentosa : Antihistamin dan Kortikosteroid
Prognosis
Umumnya prognosis adalah dubia ad bonam bila medikamentosa disertai
dengan perubahan gaya hidup.
Share:

Keracunan Makanan

Keracunan Makanan
No. ICPC II : A86Toxic Effect Non Medical Substance
No. ICD X : T.62.2 Other Ingested (parts of plant(s))
Tingkat Kemampuan: 4A
Masalah Kesehatan
Keracunan makanan merupakan suatu kondisi gangguan pencernaan yang
disebabkan oleh konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi dengan zat
patogen dan atau bahan kimia, misalnya Norovirus, Salmonella, Clostridium
perfringens, Campylobacter, dan Staphylococcus aureus.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
a. Diare akut. Pada keracunan makanan biasanya berlangsung kurang dari
2 minggu.
b. Darah atau lendir pada tinja; menunjukkan invasi mukosa usus atau
kolon.
c. Nyeri perut.
d. Nyeri kram otot perut; menunjukkan hilangnya elektrolit yang
mendasari, seperti pada kolera yang berat.
e. Kembung.
Faktor Risiko
a. Riwayat makan/minum di tempat yang tidak higienis
b. Konsumsi daging /unggas yang kurang matang dapat dicurigai untuk
Salmonella spp, Campylobacter spp, toksin Shiga E coli, dan Clostridium
perfringens.
c. Konsumsi makanan laut mentah dapat dicurigai untuk Norwalk-like
virus,Vibrio spp, atau hepatitis A.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
Pemeriksaan fisik harus difokuskan untuk menilai keparahan dehidrasi.
a. Diare, dehidrasi, dengan tanda–tanda tekanan darah turun, nadi cepat,
mulut kering, penurunan keringat, dan penurunan output urin.
b. Nyeri tekan perut, bising usus meningkat atau melemah.
Pemeriksaan Penunjang
a. Lakukan pemeriksaan mikroskopis dari feses untuk telur cacing dan
parasit.
b. Pewarnaan Gram, KOH dan metilenbiru Loeffler untuk membantu
membedakan penyakit invasifdari penyakitnon-invasif.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.

Diagnosis Banding
a. Intoleransi
b. Diare spesifik seperti disentri, kolera dan lain-lain.

Komplikasi: dehidrasi berat
Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
a. Karena sebagian besar kasus gastroenteritis akut adalah self-limiting,
pengobatan khusus tidak diperlukan. Dari beberapa studi didapatkan
bahwa hanya 10% kasus membutuhkan terapi antibiotik. Tujuan
utamanya adalah rehidrasi yang cukup dan suplemen elektrolit. Hal ini
dapat dicapai dengan pemberian cairan rehidrasi oral (oralit) atau
larutan intravena (misalnya, larutan natrium klorida isotonik, larutan
Ringer Laktat). Rehidrasi oral dicapai dengan pemberian cairan yang
mengandung natrium dan glukosa. Obat absorben (misalnya,
kaopectate, aluminium hidroksida) membantu memadatkan feses
diberikan bila diare tidak segera berhenti. Diphenoxylate dengan atropin
(Lomotil) tersedia dalam tablet (2,5 mg diphenoxylate) dan cair (2,5 mg
diphenoxylate / 5 mL). Dosis awal untuk orang dewasa adalah 2 tablet 4
kali sehari (20 mg / d). Digunakan hanya bila diare masif.
b. Jika gejalanya menetap setelah 3-4 hari, etiologi spesifik harus
ditentukan dengan melakukan kultur tinja. Untuk itu harus segera
dirujuk.
c. Modifikasi gaya hidup dan edukasi untuk menjaga kebersihan diri.

Konseling dan Edukasi
Edukasi kepada keluarga untuk turut menjaga higiene keluarga dan pasien.
Kriteria Rujukan
a. Gejala keracunan tidak berhenti setelah 3 hari ditangani dengan
adekuat.
b. Pasien mengalami perburukan.
Dirujuk ke layanan sekunder dengan spesialis penyakit dalam atau spesialis
anak.
Sarana Prasarana
a. Cairan rehidrasi (NaCl 0,9%, RL, oralit )
b. Infus set
c. Antibiotik bila diperlukan
Prognosis
Prognosis umumnya bila pasien tidak mengalami komplikasi adalah bonam.
Share:

Lepra

Lepra
No. ICPC II : A78 Infectious disease other/NOS
No. ICD X : A30 Leprosy [Hansen disease]
Tingkat Kemampuan: 4A
Masalah Kesehatan
Lepra adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh Mycobacterium
leprae yang bersifat intraselular obligat. Penularan kemungkinan terjadi
melalui saluran pernapasan atas dan kontak kulit pasien lebih dari 1 bulan
terus menerus. Masa inkubasi rata-rata 2,5 tahun, namun dapat juga
bertahun-tahun.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Bercak kulit berwarna merah atau putih berbentuk plakat, terutama di wajah
dan telinga. Bercak kurang/mati rasa, tidak gatal. Lepuh pada kulit tidak
dirasakan nyeri. Kelainan kulit tidak sembuh dengan pengobatan rutin,
terutama bila terdapat keterlibatan saraf tepi.
Faktor Risiko
a. Sosial ekonomi rendah.
b. Kontak lama dengan pasien, seperti anggota keluarga yang didiagnosis
dengan lepra
c. Imunokompromais
d. Tinggal di daerah endemik lepra
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Tanda Patognomonis
a. Tanda-tanda pada kulit
Perhatikan setiap bercak, bintil (nodul), bercak berbentuk plakat
dengan kulit mengkilat atau kering bersisik. Kulit tidak berkeringat dan
berambut. Terdapat baal pada lesi kulit, hilang sensasi nyeri dan suhu,
vitiligo. Pada kulit dapat pula ditemukan nodul.

b. Tanda-tanda pada saraf
Penebalan nervus perifer, nyeri tekan dan atau spontan pada saraf,
kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak, kelemahan
anggota gerak dan atau wajah, adanya deformitas, ulkus yang sulit
sembuh.
Kerusakan saraf tepi biasanya terjadi pada saraf yang ditunjukkan pada
gambar berikut:


Gambar 5. Saraf tepi yang perlu diperiksa


c. Ekstremitas dapat terjadi mutilasi
Untuk kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik, simbol-simbol
berikut digunakan dalam penulisan di rekam medik.


Gambar 6. Penulisan kelainan pemeriksaan fisik pada rekam medik

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikroskopis kuman BTA pada sediaan kerokan jaringan kulit.
Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan apabila terdapat satu dari tanda-tanda utama atau
cardinal (cardinal signs), yaitu:
a. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa.
b. Penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi saraf.
c. Adanya basil tahan asam (BTA) dalam kerokan jaringan kulit (slit skin
smear).
Sebagian besar pasien lepra didiagnosis berdasarkan pemeriksaan klinis.
Klasifikasi Lepra terdiri dari 2 tipe, yaitu Pausibasilar (PB) dan Multibasilar
(MB)




Diagnosis Banding
Bercak eritema
a. Psoriasis
b. Tinea circinata
c. Dermatitis seboroik
Bercak putih
a. Vitiligo
b. Pitiriasis versikolor
c. Pitiriasis alba
Nodul
a. Neurofibromatosis
b. Sarkoma Kaposi
c. Veruka vulgaris
Komplikasi
a. Arthritis.
b. Sepsis.
c. Amiloid sekunder.
d. Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
yang sangat kronis. Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas
seluler (tipe 1/reversal) atau hipersentitivitas humoral (tipe 2/eritema
nodosum leprosum).


Tabel 6. Faktor pencetus reaksi tipe 1 dan tipe 2





Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
a. Pasien diberikan informasi mengenai kondisi pasien saat ini, serta
mengenai pengobatan serta pentingnya kepatuhan untuk eliminasi
penyakit.
b. Higiene diri dan pola makan yang baik perlu dilakukan.
c. Pasien dimotivasi untuk memulai terapi hingga selesai terapi
dilaksanakan.
d. Terapi menggunakan Multi Drug Therapy (MDT) pada:
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat
MDT.
2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di bawah ini:
a) Relaps
b) Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
c) Pindahan (pindah masuk)
d) Ganti klasifikasi/tipe
e. Terapi pada pasien PB:
1. Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya (obat diminum di
depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600mg) dan
1 tablet dapson/DDS 100 mg.
2. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya: 1 tablet
dapson/DDS 100 mg. 1 blister obat untuk 1 bulan.
3. Pasien minum obat selama 6-9 bulan (± 6 blister).
4. Pada anak 10-15 tahun, dosis rifampisin 450 mg, dan DDS 50 mg.
f. Terapi pada Pasien MB:
1. Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya (obat diminum di
depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600mg), 3
tablet lampren (klofazimin) @ 100mg (300mg) dan 1 tablet
dapson/DDS 100 mg.
2. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya: 1 tablet lampren 50
mg dan 1 tablet dapson/DDS 100 mg. 1 blister obat untuk 1 bulan.
3. Pasien minum obat selama 12-18 bulan (± 12 blister).
4. Pada anak 10-15 tahun, dosis rifampisin 450 mg, lampren 150 mg
dan DDS 50 mg untuk dosis bulanannya, sedangkan dosis harian
untuk lampren 50 mg diselang 1 hari.

g. Dosis MDT pada anak <10 tahun dapat disesuaikan dengan berat
badan:
1. Rifampisin: 10-15 mg/kgBB
2. Dapson: 1-2 mg/kgBB
3. Lampren: 1 mg/kgBB
h. Obat penunjang (vitamin/roboransia) dapat diberikan vitamin B1, B6,
dan B12.
i. Tablet MDT dapat diberikan pada pasien hamil dan menyusui. Bila
pasien juga mengalami tuberkulosis, terapi rifampisin disesuaikan
dengan tuberkulosis.
j. Untuk pasien yang alergi dapson, dapat diganti dengan lampren, untuk
MB dengan alergi, terapinya hanya 2 macam obat (dikurangi DDS).


Tabel 8. Efek samping obat dan penanganannya


Terapi untuk reaksi kusta ringan, dilakukan dengan pemberian prednison
dengan cara pemberian:
a. 2 Minggu pertama 40 mg/hari (1x8 tab) pagi hari sesudah makan
b. 2 Minggu kedua 30 mg/hari (1x6 tab) pagi hari sesudah makan
c. 2 Minggu ketiga 20 mg/hari (1x4 tab) pagi hari sesudah makan
d. 2 Minggu keempat 15 mg/hari (1x3 tab) pagi hari sesudah makan
e. 2 Minggu kelima 10 mg/hari (1x2 tab) pagi hari sesudah makan
f. 2 Minggu Keenam 5 mg/hari (1x1 tab) pagi hari sesudah makan
Bila terdapat ketergantungan terhadap Prednison, dapat diberikan
Lampren lepas.
Konseling dan Edukasi
a. Individu dan keluarga diberikan penjelasan tentang lepra, terutama cara
penularan dan pengobatannya.
b. Dari keluarga diminta untuk membantu memonitor pengobatan pasien
sehingga dapat tuntas sesuai waktu pengobatan.
c. Apabila terdapat tanda dan gejala serupa pada anggota keluarga lainnya,
perlu dibawa dan diperiksakan ke pelayanan kesehatan.
Rencana tindak lanjut:
a. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat.
b. Bila terlambat, paling lama dalam 1 bulan harus dilakukan pelacakan.
c. Release From Treatment (RFT) dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi
tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.
d. Pasien yang sudah RFT namun memiliki faktor risiko: cacat tingkat 1
atau 2, pernah mengalami reaksi, BTA pada awal pengobatan >3 (ada
nodul atau infiltrate), maka perlu dilakukan pengamatan semi-aktif.
e. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam
waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan
laboratorium.
f. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister)
dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan
laboratorium.
g. Default
Jika pasien PB tidak mengambil/minum obatnya lebih dari 3 bulan dan
pasien MB lebih dari 6 bulan secara kumulatif (tidak mungkin baginya
untuk menyelesaikan pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka
yang bersangkutan dinyatakan default. Pasien defaulter tidak diobati
kembali bila tidak terdapat tanda-tanda klinis aktif. Namun jika
memiliki tanda-tanda klinis aktif (eritema dari lesi lama di kulit/ ada lesi
baru/ ada pembesaran saraf yang baru).
Bila setelah terapi kembali pada defaulter ternyata berhenti setelah lebih
dari 3 bulan, maka dinyatakan default kedua. Bila default lebih dari 2
kali, perlu dilakukan tindakan dan penanganan khusus.
Kriteria rujukan
a. Terdapat efek samping obat yang serius.
b. Reaksi kusta dengan kondisi:
1. ENL melepuh, pecah (ulserasi), suhu tubuh tinggi, neuritis.
2. Reaksi tipe 1 disertai dengan bercak ulserasi atau neuritis.
3. Reaksi yang disertai komplikasi penyakit lain yang berat, misalnya
hepatitis, DM, hipertensi, dan tukak lambung berat.
Sarana Prasarana
Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan BTA
Prognosis
Prognosis untuk vitam umumnya bonam, namun dubia ad malam pada fungsi
ekstremitas, karena dapat terjadi mutilasi, demikian pula untuk kejadian
berulangnya.
Share:

Kandidiasis Mulut

Kandidiasis Mulut

No. ICPC II : A 78 Infectious desease other
No. ICD X : B 37.9 Candidiasis unspecified
Tingkat Kemampuan: 4A
Masalah Kesehatan
Infeksi Candida albicans ini menyerang kulit, mukosa maupun organ dalam,
sedangkan pada bayi dapat terinfeksi melalui vagina saat dilahirkan, atau
karena dot yang tidak steril

Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan:
Rasa gatal dan perih di mukosa mulut, rasa metal, dan daya kecap penderita
yang berkurang.
Faktor Risiko : imunodefisiensi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
a. Bercak merah, dengan maserasi di daerah sekitar mulut, di lipatan
(intertriginosa) disertai bercak merah yang terpisah di sekitarnya
(satelit).
b. Guam atau oral thrush yang diselaputi pseudomembran pada mukosa
mulut.
Pemeriksaan Penunjang
Sel ragi dapat dilihat di bawah mikroskop dalam pelarut KOH 10% atau
pewarnaan Gram.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang.
Diagnosis Banding
Peradangan mukosa mulut yang disebabkan karena bakteri atau virus.
Komplikasi
Diare karena kandidiasis saluran cerna.
Rencana Penatalaksanaan Komprehensif(Plan)
Penatalaksanaan
a. Memperbaiki status gizi dan menjaga kebersihan oral
b. Kontrol penyakit predisposisinya
c. Gentian violet 1% (dibuat segar/baru) atau larutan nistatin 100.000 –
200.000 IU/ml yang dioleskan 2 – 3 kali sehari selama 3 hari
Rencana Tindak Lanjut
a. Dilakukan skrining pada keluarga dan perbaikan lingkungan keluarga
untuk menjaga tetap bersih dan kering.
b. Pasien kontrol kembali apabila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dengan
obat anti jamur.
Kriteria Rujukan:
Bila kandidiasis merupakan akibat dari penyakit lainnya, seperti HIV.

Sarana Prasarana
a. Larutan KOH
b. Mikroskop
Prognosis
Prognosis pada pasien dengan imunokompeten umumnya bonam
Share:

Infeksi Pada Umbilikus

Infeksi Pada Umbilikus
No. ICPC II : A78 Infectious disease other
Tingkat Kemampuan: 4A
Masalah Kesehatan
Tali pusat biasanya lepas pada hari ke-7 setelah lahir dan luka baru sembuh
pada hari ke-15. Infeksi pada tali pusat atau jaringan kulit di sekitar perlu
dikenali secara dini dalam rangka mencegah sepsis.

Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Panas, Rewel, Tidak mau menyusu.
Faktor Risiko
a. Imunitas seluler dan humoral belum sempurna
b. Luka umbilikus
c. Kulit tipis sehingga mudah lecet
Faktor Predisposisi
Pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak steril
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana(Objective)
Pemeriksaan Fisik
a. Ada tanda tanda infeksi di sekitar tali pusat seperti kemerahan, panas,
bengkak, nyeri dan mengeluarkan pus yang berbau busuk.
b. Infeksi tali pusat lokal atau terbatas: bila kemerahan dan bengkak
terbatas pada daerah kurang dari 1cm di sekitar pangkal tali pusat.
c. Infeksi tali pusat berat atau meluas: bila kemerahan atau bengkak pada
tali pusat meluas melebihi area 1 cm atau kulit di sekitar tali pusat bayi
mengeras dan memerah serta bayi mengalami pembengkakan perut.
d. Tanda sistemik: demam, takikardia, hipotensi, letargi, somnolen, ikterus
Pemeriksaan Penunjang: -
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Adanya
tanda-tanda infeksi disekitar umblikus seperti bengkak, kemerahan dan
kekakuan. Pada keadaan tertentu ada lesi berbentuk impetigo bullosa..

Diagnosis Banding
a. Tali pusat normal dengan akumulasi cairan berbau busuk tidak ada
tanda tanda infeksi (pengobatan cukup dibersihkan dengan alkohol).
b. Granuloma-delayed epithelialization/ Granuloma keterlambatan proses
epitelisasi karena kauterisasi.
Komplikasi
a. Necrotizing fasciitis dengan tanda-tanda: edema, kulit tampak seperti
jeruk (peau d’orange appearance) disekitar tempat infeksi, progresifitas
cepat dan dapat menyebabkan kematian maka kemungkinan menderita.
b. Peritonitis.
c. Trombosis vena porta.
d. Abses.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Perawatan lokal:
a. Pembersihan tali pusat dengan menggunakan larutan antiseptik
(Klorheksidin atau iodium povidon 2,5%) dengan kain kasa yang bersih
delapan kali sehari sampai tidak ada nanah lagi pada tali pusat.
b. Setelah dibersihkan, tali pusat dioleskan dengan salep antibiotik 3-4 kali
sehari.
Perawatan sistemik:
Bila tanpa gejala sistemik, pasien diberikan antibiotik seperti kloksasilin oral
selama lima hari Bila anak tampak sakit, harus dicek dahulu ada tidaknya
tanda-tanda sepsis. Anak dapat diberikan antibiotik kombinasi dengan
aminoglikosida. Bila tidak ada perbaikan, pertimbangkan kemungkinan
Meticillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA).
Kontrol kembali bila tidak ada perbaikan atau ada perluasan tanda-tanda
infeksi dan komplikasi seperti bayi panas, rewel dan mulai tak mau makan.
Rencana tindak lanjut : -
Kriteria Rujukan:
a. Bila intake tidak mencukupi dan anak mulai tampak tanda dehidrasi.
b. Terdapat tanda komplikasi sepsis.
Sarana Prasarana
a. Klorheksidin atau iodium povidon 2,5%.
b. Kain kasa.
c. Larutan antiseptik (klorheksidin atau iodium povidon 2,5%).
d. Salep antibiotik.
Prognosis
Prognosis jika pasien tidak mengalami komplikasi umumnya dubia ad bonam
Share:

Leptospirosis

Leptospirosis
No. ICPC II : A78Infection disease other/ NOS
No. ICD X : A27.9
Tingkat Kemampuan: 4A
Masalah Kesehatan
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang menyerang manusia disebabkan
oleh mikroorganisme Leptospira interogans dan memiliki manifestasi klinis
yang luas. Spektrum klinis mulai dari infeksi yang tidak jelas sampai
fulminan dan fatal. Pada jenis yang ringan, leptospirosis dapat muncul seperti
influenza dengan sakit kepala dan myalgia. Tikus, adalah reservoir yang utama
dan kejadian leptospirosis lebih banyak ditemukan pada musim hujan

Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan:
Demam disertai menggigil, sakit kepala, anoreksia, mialgia yang hebat pada
betis, paha dan pinggang disertai nyeri tekan. Mual, muntah, diare dan nyeri
abdomen, fotofobia, penurunan kesadaran
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Febris, Ikterus, Nyeri tekan pada otot, Ruam kulit, Limfadenopati,
Hepatomegali, Splenomegali, Edema, Bradikardi relatif, Konjungtiva suffusion,
Gangguan perdarahan berupa petekie, purpura, epistaksis dan perdarahan
gusi, kaku kuduk sebagai tanda meningitis
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah rutin: jumlah leukosit antara 3000-26000/μL, dengan pergeseran
ke kiri, trombositopenia yang ringan terjadi pada 50% pasien dan
dihubungkan dengan gagal ginjal.
b. Urin rutin: sedimen urin (leukosit, eritrosit, dan hyalin atau granular)
dan proteinuria ringan, jumlah sedimen eritrosit biasanya meningkat.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis dapat ditegakkan pada pasien dengan demam tiba-tiba, menggigil
terdapat tanda konjungtiva suffusion, sakit kepala, myalgia ikterus dan nyeri
tekan pada otot. Kemungkina tersebut meningkat jika ada riwayat bekerja
atau terpapr dengan lingkungan yang terkontaminasi dengan kencing tikus.

Diagnosis Banding
a. Demam dengue,
b. Malaria,
c. Hepatitis virus,
d. Penyakit rickettsia.
Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
a. Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan
mengatasi keadaan dehidrasi, hipotensi,perdarahan dan gagal ginjal
sangat penting pada leptospirosis.
b. Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin. Pada kasus-kasus
ringan dapat diberikan antibiotika oral seperti doksisiklin, ampisilin ,
amoksisilin atau erytromicin. Pada kasus leptospirosis berat diberikan
dosis tinggi penicillin injeksi.

Komplikasi
a. Meningitis
b. Distress respirasi
c. Gagal ginjal karena renal interstitial tubular necrosis
d. Gagal hati
e. Gagal jantung
Konseling dan Edukasi
a. Pencegahan leptospirosis khususnya didaerah tropis sangat sulit,
karena banyaknya hospes perantara dan jenis serotype. Bagi mereka
yang mempunyai risiko tinggi untuk tertular leptospirosis harus
diberikan perlindungan berupa pakaian khusus yang dapat
melindunginya dari kontak dengan bahan-bahan yang telah
terkontaminasi dengan kemih binatang reservoir.
b. Keluarga harus melakukan pencegahan leptospirosis dengan
menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari
tikus, mencuci tangan, dengan sabun sebelum makan, mencuci tangan,
kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di
sawah/ kebun/ sampah/ tanah/ selokan dan tempat tempat yang
tercemar lainnya.
Rencana Tindak Lanjut
Kasus harus dilaporkan ke dinas kesehatan setempat.
Kriteria Rujukan
Pasien segera dirujuk ke pelayanan sekunder (spesialis penyakit dalam) yang
memiliki fasilitas hemodialisa setelah penegakan diagnosis dan terapi awal.
Sarana Prasarana
Pemeriksaan darah dan urin rutin
Prognosis
Prognosis jika pasien tidak mengalami komplikasi umumnya adalah dubia ad
bonam.
Share:

Popular Posts

Recent Posts

Pages